PERJUANGAN ORMAS KEDAERAHAN merupakan contoh kasus dari prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme.
Ormas (Organisasi Masyarakat) Betawi kerap memunculkan kontroversi. Lantaran banyak nilai antitesa prasangka publik terhadap mereka.
Keberadaan Ormas Betawi hampir pasti membuat miris masyarakat Jakarta. Segala hal terkait Ormas Betawi selalu mendapatkan persepsi buruk. Beragam alasan mencuat, namun umumnya masyarakat tidak menyukai Ormas Betawi, karena kericuhan yang kerap mereka buat.
Sebut saja Forum Betawi Rempug (FBR), yang pernah bersitegang bahkan bentrok dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), beberapa waktu lalu kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat.
Pemicunya tak lain, penertiban pada pedagang kaki lima di GOR Johar Baru. Salah seorang anggota Satpol PP diduga telah menurunkan bendera Ormas FBR. Aparat kepolisian kewalahan menengahi mereka, meski akhirnya keributan bisa berkahir.
Ormas (Organisasi Masyarakat) Betawi kerap memunculkan kontroversi. Lantaran banyak nilai antitesa prasangka publik terhadap mereka.
Keberadaan Ormas Betawi hampir pasti membuat miris masyarakat Jakarta. Segala hal terkait Ormas Betawi selalu mendapatkan persepsi buruk. Beragam alasan mencuat, namun umumnya masyarakat tidak menyukai Ormas Betawi, karena kericuhan yang kerap mereka buat.
Sebut saja Forum Betawi Rempug (FBR), yang pernah bersitegang bahkan bentrok dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), beberapa waktu lalu kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat.
Pemicunya tak lain, penertiban pada pedagang kaki lima di GOR Johar Baru. Salah seorang anggota Satpol PP diduga telah menurunkan bendera Ormas FBR. Aparat kepolisian kewalahan menengahi mereka, meski akhirnya keributan bisa berkahir.
Contoh kasus lain yang memperjelas prasangka masyarakat terhadap Ormas-ormas Betawi sehingga tercap sebagai organisasi preman. Kasus penganiayaan FBR terhadap LSM Urban Poor Consortium pimpinan Wardah Hafidz 28 Maret 2003 di kantor KOMNAS HAM. Tujuh diantara anggota FBR ini menjalani proses hukum dan di vonis bersalah, dengan dakwaan berlapis, 31 Maret 2003. Pasalnya selain penganiyaan mereka juga melakukan perusakan kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat. Pemicunya tak lain kericuhan dengan etnis lain, yang mengakibatkan tewasnya salah satu pentolan FBR Aji Mustofa, di kawasan Rumah Susun Pulo Mas.
Bagi penulis, keberadaan Ormas Betawi memiliki daya tarik untuk diperbincangkan. Hal ini tidak sekonyong-konyong muncul, tetapi lebih dikarenakan keberadaan Ormas Betawi memang kontroversial di tengah masyarakat. Perhatian publik terseret terhadap keberadaan ormas ini, lantaran media massa sering melansir peristiwa yang terkait dengan prilaku ormas berbau etnis ini.
Aroma kriminal FBR, mulai dari pemukulan terhadap sesama warga hingga tindakan kebrutalan, menjadi berita besar media massa. Efeknya jelas, mayoritas masyarakat memiliki prasangka negatif terhadap ormas-ormas Betawi itu.
Sekilas Tentang Ormas Betawi
Sebelum kita membahas latar belakang munculnya prasangka negatif terhadap Ormas Betawi, ada baiknya kemunculan organisasi-organisasi di Jakarta khususnya yang berbasis orang-orang Betawi menjadi telaahan utama.
Awal mula (sejarah) munculnya Ormas Betawi tak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat yang ada di Jakarta, khususnya untuk etnis Betawi. Pada saat sebelum berkumpulnya masyarakat Betawi dalam Perkoempoelan Kaoem Betawi, masyarakat Betawi lebih sering menyebut dirinya dengan Orang Rawabelong, Orang Mester (Jatinegara), Orang Marunda, dll.
Perkoempoelan Kaoem Betawi (PKB) berdiri pada tahun 1923 saat dinamika politik Indonesia makin terasa hangat. Sementara rata-rata orang Betawi jarang menyebut diri mereka sebagai orang Betawi, tetapi lebih terasosiasi pada domisili lokal tempat mereka tinggal, maka dibentuklah PKB.
M. Maseri, Thabri Thamrin, dan Abdul Manaf merupakan salah satu tokoh muda pendiri PKB pada 11 Januari 1923. Tujuan awal pembentukan PKB ini, untuk meningkatkan pendidikan kaum Betawi serta peningkatan di bidang kebudayaan, kesehatan dan sektor hidup lainnya.
Orientasi gerakan PKB condong pada gerakan politik. Hal ini lebih disebabkan kesadaran dari kalangan terdidik Betawi sudah tinggi. Mereka menginginkan kaum Betawi berperan sebagai subjek politik, bukan sebaliknya.
Kiprahnya dalam dunia politik, PKB juga turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Penerusnya, Mohammad Husni Thamrin yang tak lain adalah anak dari Thabri Thamrin, menjadikan PKB lebih dinamis. Tahun 1928 PKB bergabung dengan organisasi pemuda lainnya dalam even Sumpah Pemuda. Rapat raksasa di Lapangan Ikada September 1945 pun, mereka ikut terlibat.
Sederhananya hal-hal tersebut menggambarkan keadaan masyarakat Betawi yang inklusif, terbuka terhadap etnis lain, juga dapat bekerja dengan semangat kebersamaan. Kehidupan masyarakat Betawi berjalan damai beriringan bersama etnis lain di Jakarta.
Semenjak Indonesia merdeka dan memasuki masa Orde Lama (Orla), banyak perkumpulan suku yang berdiri di Jakarta. Keadaan ini berubah ketika Indonesia berada pada masa Orde Baru, segala kelompok etnis mendapatkan tindakan preventif untuk berkembang. Akibatnya jumlah organisasi masyarakat berbasis kesukuan tidak dapat berkembang.
Sementara untuk daerah Jakarta, etnis Betawi masih mendapatkan ruang untuk membentuk Ormas. Beberapa contoh ormas Betawi yang bisa berkembang seperti: Persatuan Masyarakat Jakarta Moh. Husni Thamrin (Permeta MHT), Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB), Lembaga Kebudayaan Jakarta (LKB), dan lainnya serta adanya Badan Musyawarah Mayarakat Betawi yang disebut Bamus Betawi.
Bamus berdiri pada tanggal 22 Juni 1982, tujuanya untuk mempersatukan kaum dan masyarakat Betawi. Semenjak itu Bamus menjadi organisasi induk Ormas-ormas Betawi seperti yang disebutkan di atas. Jumlah awal Ormas Betawi yang bergabung dengan Bamus ada sejumlah sebelas Ormas, kini jumlah ormas Betawi yang bergabung dengan Bamus bertambah banyak, sekira 114 Ormas Betawi.
Bentuk ormas yang tergabung dalam Bamus tidak hanya bergerak dalam pengorganisiran massa (FBR, Forkabi, POB, dll), ada juga yang bergerak sebagai lembaga cagar budaya (LKB), dalam bidang kedokteran (Ikatan Dokter Jakarta), dan lain-lain.
Kelahiran Bamus tak lepas dari siasat politik yang dilakukan oleh masyarakat Betawi kala itu. Sebagaimana yang telah diketahui, pada masa Orde Baru, di Indonesia marak terjadi “penyeragaman”. Maka bagi siapa yang tidak sepaham dan berbeda dapat dianggap sebagai musuh; dan punya konsekuensi dibinasakan.
Masyarakat Betawi dikenal taat dalam beribadah dan memiliki nuansa keagamaan yang kental. Hal ini ikut berpengaruh dalam kecenderungan memilih partai politik, saat Orde Lama sekitar 90% masyarakat Betawi memilih Partai Masyumi. Masa Orde Baru, masyarakat Betawi pun memilih PPP (Partai Persatuan Pembangunan).
Jadi, pembentukan Ormas Betawi adalah demi mempertahankan identitas diri yang dikenal oleh masyarakat Betawi sebagai budaya mereka. Selain sebagai usaha memajukan masyarakat Betawi sendiri.
Ormas Betawi Kini dan Prasangka
Setelah rezim Orde Baru runtuh, angin segar kebebasan berorganisasi menjadi faktor utama dalam menopang perkembangan Ormas-Ormas. Termasuk Ormas Betawi mengalami perkembangan dari segi kuantitias. Penyeragaman ideologi (Pancasila) yang terjadi pada masa Orde Baru sudah menjadi angin lalu. Organisasi tumbuh bak jamur di musim hujan, ideologi etnis berkembang pesat merambahi komunitas dan kelompok suku di Jakarta, khususnya Ormas Betawi.
Salah satu Ormas Betawi yang muncul setelah bergantinya masa Orde Baru adalah FBR. Setidaknya Ormas ini, paling sering menyedot perhatian publik. FBR berdiri 29 Juli 2001, dengan ketuanya H. Fadholi El Munir.
Tidak jauh berbeda dengan organisasi-organisasi berbasis masyarakat Betawi yang muncul sebelumnya, FBR muncul sebagai wadah aspirasi masyarakat Betawi untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Betawi sebagai etnis lokal Jakarta.
Dalam buku yang ditulis oleh Solemanto, “KH. A. Fadholi El Munir, Jejak Langkah Sang Kiai”, kemunculan FBR berawal dari keprihatinan terhadap mayarakat Betawi yang seolah terasing di tanah kelahirannya sendiri. Dalam buku itu, tergambar adanya diskriminasi terhadap orang Betawi. Salah satunya masalah lapangan pekerjaan, jika orang betawi melamar kerja di pabrik saja selalu mendapat penolakan dengan alasan penuh. Kesulitan mendapatkan pekerjaan di kampung sendiri inilah yang menjadi preseden buruk, sementara setiap saat mereka harus terima beragam polusi, bising, dan hiruk pikuk masyarakat lainnya yang jelas-jelas mengganggu kehidupan orang Betawi.
Niatan membentuk FBR berjalan tersendat. Pasalnya pertentangan dari kalangan Betawi, pihak kepolisian maupun pemerintah menjadikannya runyam. Deklarasi FBR saja sudah membuat instansi terkait kelimpungan, hingga berakibat pemanggilan terhadap pimpinan FBR Fadholi el Munir dan Luthfi Hakim. Kendati demikian, deklarasi jalan terus tanpa ada insiden apapun yang membahayakan.
Dalam konteks Jakarta, kemunculan ormas-ormas tidak hanya disebabkan oleh terbukanya keran kebebasan berorganisasi, melainkan juga disebabkan terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi, khususnya masyarakat Betawi. Marginalisasi ini datang dari pemerintah pusat maupun dari dunia usaha. Efeknya, ditandai dengan berpencarnya masyarakat Betawi ke pinggiran kota Jakarta, serta banyaknya pemuda Betawi yang menjadi pengangguran.
Dengan implikasi yang tidak dapat disebut remeh tersebut, tidaklah berlebihan jika dikatakan pemerintah pusatlah penyebabnya (pada masa Orde Baru). Karena masa Orde Baru, garis komando dalam sektor ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan kebudayaan dipegang pemerintah pusat.
Tentu masih dapat kita ingat, masa Orde Baru, bunyi gaung-gaung pembangunan sangatlah besar. Dan Jakarta sebagai ibu kota negara punya keharusan untuk berbenah. Usaha berbenah ini meninggalkan “borok” bagi masyarakat Betawi sendiri. Banyak tanah-tanah adat milik orang Betawi yang diambil oleh pemilik modal yang berganti jadi bangunan megah berbau kapitalis.
Laju migrasi yang tak bisa ditahan, menjadi instrumen terlaksananya proyek pembangunan pada masa Orde Baru di Jakarta, akibatnya orang Betawi semakin terpinggirkan.
Secara demografi, pada tahun 1930, suku Betawi di Jakarta sebanyak 778.953 jiwa, dan masih menjadi mayoritas. Tiga puluh tahun masyarakat Betawi telah menjadi kaum minoritas. Menurut catatan tahun 1961 suku Betawi mencakup kurang lebih 22,9% dari 2,9 juta penduduk Jakarta. Dan kehadiran orang-orang dari desa ke Jakarta semakin membuat Jakarta sesak dan menyingkirkan masyarakat lokalnya yakni, masyarakat Betawi.
Sikap marjinalisasi terhadap masyarakat Betawi tersebut akhirnya mendorong setiap elemen masyarakat Betawi untuk mempertahankan diri; membentuk ormas adalah salah satu jalannya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, Ormas-ormas yang bertujuan mempertahankan eksistensi etnisnya mulai berjalan di luar tujuan awal. Sebagaimana dengan dua contoh kasus yang telah disebutkan di atas. Timbul prasangka dari masyarakat umum terhadap ormas-ormas Betawi. Mayoritas, berasumsi ormas Betawi bergerak dan bertindak dengan latar etnosentrisme. Karena tindakan mereka cenderung menganggap baik orang-orang dalam kelompok sendiri, dan menganggap buruk kelompok lainnya.
Prasangka ini semakin mendapatkan pembenaran ketika seringnya Ormas-Ormas Betawi muncul di media massa sebagai dalang kerusuhan. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt dalam bukunya “Sosiology, Sixht Edition” menjelaskan fenomena semacam ini, yaitu fenomena yang biasa disebut “diskriminasi balik”. Jika diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok dominan agar dapat mempertahankan hak-hak istimewanya, maka tidak demikian dengannya. Diskriminasi balik lebih mengutamakan kelompok yang tidak dominan, yang para anggotanya dibatasi oleh diskriminasi pada masa lalu, atau oleh diskriminasi yang berlaku sekarang.
Prasangka-prasangka tersebut terus mengalir di hampir setiap media massa. Seolah ormas Betawi adalah aktor yang perlu disorot setiap melakukan tindakan brutal. Pemberitaan semacam ini akhirnya dapat membentuk citra negatif di alam bawah sadar manusia. Atau dalam istilah sosiologi disebut “konstruksi sosial”.
Pencagaran Terhadap Budaya
Salah satu hal yang menjadi identitas diri (baik individu maupun kelompok) adalah budaya. Maksudnya untuk mengenal identitas diri tidaklah cukup hanya dengan berdasarkan konstruksi sosial (pencitraan) yang dibuat oleh media massa. Tetapi dengan memahami kebudayaan masyarakat tertentu, kita akan mengenal identitas dirinya.
Sebagai contoh, pemberitaan media massa yang sangat massif tentang tindakan brutal ormas Betawi, bukanlah bentuk kebudayaan masyarakat Betawi secara hakiki. Dan hal ini tidak dapat disebut sebagai budaya masyarakat Betawi. Kalaupun perihal kekerasan ini terus terulang, ini hanyalah implementasi dari adanya resesi ekonomi dan gunjang-ganjing politik di negeri ini.
Akibat resesi ekonomi dan gonjang-ganjingnya situsasi politik tersebut membuat masyarakat Jakarta secara umum tidak sadar tentang pentingnya mengenal budaya lokal masing-masing. Tidak heran jika banyak terjadi pergeseran nilai kebudayaan dalam suatu masyarakat. Khususnya generasi muda Jakarta mulai melupakan nilai sosial dan budaya yang dimilikinya. Nilai kehidupan sosial masyarakat yang santun dan agamis tercabik-cabik oleh budaya metropolitan, sehingga banyak pemuda Betawi yang mengalami pendangkalan iman dan sulit memisahkan secara tegas antara halal dan haram.
Hingga pada gilirannya generasi muda Betawi terus menggauli zat-zat terlarang seperti narkoba, dan zat adiktif yang lainnya. Dan perilaku konsumtif menjadi identitas baru mereka. Satu hal yang paling ditakutkan adalah tidak terbangunnya kembali kesadaran budaya lokal daerah mereka, sehingga mereka tidak memiliki kepekaan sosial.
Untuk menghadapi permasalahan seperti ini, seharusnya instansi pendidikan dapat menyiasati kurikulum yang ada di dalamnya. Berikan peserta didik materi yang menggiring mereka untuk peduli terhadap khazanah budaya yang dimiliki daerahnya, bahkan bangsanya.
Ridwan Saidi, pernah menyebutkan, pewarisan nilai-nilai budaya Melayu Betawi terhadap anak-anak sekolah, terbilang rendah. Terutama dari golongan ekonomi lemah.
Memang keberadaan ormas-ormas Betawi sekarang ini kerap menimbulkan kontroversi akibat tindakan brutal mereka yang sering ditampilkan di media massa. Namun rasanya tidak bijak jika kita melihat permasalahan pada tataran permukaannya. Maksudnya, untuk konteks ormas-ormas Betawi ini, tindakan mereka ini adalah wujud aktualisasi diri, sebagai tanda bahwa masyarakat Betawi tidak dapat dipandang telah pergi dari kampungnya.
Prasangka-prasangka masyarakat terhadap ormas-ormas Betawi hanyalah pekerjaan media massa untuk mendapatkan news value, sehingga akhirnya dapat membentuk opini publik terhadap ormas-ormas Betawi.
Jadi, pernyataan Fadholi El Muhir yang mengatakan “Masyarakat Betawi harus menjadi jawara dan juragan di kampung sendiri” bukanlah sekadar pernyataan untuk menjadi preman di kampung sendiri. Melainkan upaya untuk mempertahankan harkat dan martabat dari masyarakat Betawi.
Satu hal yang perlu diperhatikan, masyarakat Betawi harus mampu mengenal kebudayaan lokalnya. Sehingga dapat mempertahankan identitas kelompok, dan kearifan local orang Betawi
http://www.didaktikaunj.org/index.php/opini/opinididaktika/69-jabbar-ramdhani
Senin, 20 Desember 2010
PERJUANGAN ORMAS KEDAERAHAN
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 00.07Minggu, 19 Desember 2010
KEKERASAN DALAM PACARAN (KDP)
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 23.57KDP adalah judul film yang akan saya analisa. Sebelum menganalisa film KDP saya akan menceritakan sedikit sinopsis dari film KDP tersebut. Sebenarnya siih lupa-lupa inget (lebih tepatnya di inget-ingetin >,< xixixixixi..)
Ok langsung aja yuukk..
Singkat ceritanya begini..
Melati adalah seorang gadis yang tertutup dan mandiri, karena ia sudah bisa menambah uang jajannya sendiri meskipun ia masih duduk di bangku kuliah. Sebenarnya siih dy tuh berada pada lingkungan keluarga yang cukup mampu istilahnya berkecukupan laahh, hanya saja melati sering merasa kesepian karena bila tidak ada jadwal kuliah atau sedang dalam waktu senggang melati sering merasa kesepian dan kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Maklum sih soalnya kedua orang tuanya sibuk bekerja. Karena itulah melati mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan kampus dan bekerja.
Di kampus melati mempunyai seorang teman cewek yang bernama Rani. Rani adalah teman main melati tidak hanya itu merekapun sering mengerjakan tugas bersama di rumah Rani. Dari sinilah melati bertemu dengan kakak Rani yaitu jaka. Lama kelamaan jaka mulai menaruh hati pada melati. Perhatian jaka membuat melati merasa diperhatikan. Mereka pun pada akhirnya dekat dan semakin dekat sampai pada akhirnya resmi pacaran.
Kedekatan melati dan jaka pada awal-awal bulan pertama sangat baik. Kehadiran jaka dalam hidup melati membuat melati tidak merasa kesepian. Pada bulan-bulan berikutnya melati merasa ada yang berbeda dari sikap jaka selama ini. Jaka mulai bersikap kasar pada melati, tetapi pada waktu itu juga jaka langsung menyadari kesalahnya. Dengan alasan sayang dan karena jaka pernah bercerita pada melati dy sering melihat ibunya dipukuli oleh bapaknya, hal tersebut membuat melati hati luluh dan kasihan. Kejadian tersebut terus terjadi sampai pada akhirnya melatipun menceritakannya pada temannya. Teman melatipun menyarankan agar melati untuk mengambil sikap agar tidak larut dalam situasi seperti itu terus. Lama kelamaan melati merasa sangat jenuh oleh perlakuan kasar jaka yang semakin menjadi-jadi. Melati akhirnya melaporkan jaka ke pada pihak yang berwajib.
Nah kira-kira seperti itulah cerita dari film KDP yang akan saya analisa...
Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini.
Kekerasan dalam Pacaran: Sebuah Fenomena yang Terjadi pada Remaja“. Hmmm…. betul juga, ya? Tak selamanya pacaran itu indah. Ada kalanya terdapat “bumbu-bumbu” berupa saling cemburu, bahkan juga kekerasan. Kekerasan … ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual. Dari segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, meninju, menendang, menjambak, mencubit dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti cemburu yang berlebihan, pemaksaan, memaki-maki di depan umum dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan dalam hal ekonomi jika pasangan sering pinjam uang atau barang-barang lain tanpa pernah mengembalikannya, selalu minta ditraktir, dan lain-lain.
Masalahnya, para korban kekerasan pada umumnya tidak menceritakan kepada pihak yang berwenang terhadap masalah ini, bahkan kepada orang tuanya dan orang terdekatnya seperti teman sekalipun.
Korban dan pelaku biasanya selalu berusaha menutupi fakta yang ada dengan berbagai cara atau dalih, walaupun terkadang tanpa sengaja terungkap. Jika situasi dan keadaan sudah sangat parah (misalnya luka-luka fisik sudah tidak bisa ditutupi), biasanya korban terpaksa meminta bantuan pihak medis dan atau melaporkan kepada pihak berwajib.
Kasus kekerasan yang tidak dilaporkan biasanya karena korban merasa takut akibat ancaman oleh pacar, atau karena iba karena pelaku memohon maaf sedemikian rupa, setelah melakukan kekerasan, sehingga korban percaya bahwa pelaku benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya lagi.
Padahal, sikap yang terlalu lunak dalam menghadapi kekerasan seperti itu ibarat memelihara serigala di kandang domba. Sebab, bisa saja kekerasan itu memang sudah menjadi kebiasaan si pelaku. Mungkin sikap keras si pelaku itu sudah mengakar dan akan terus berulang. Ataupun pelaku melakukan hal tersebut dikarenakan masa lalu yang membuatnya trauma, seperti ketidakharmonisan orang tuanya dapat menjadi taruma yang mendalam.
Sikap menyesal dan pernyataan maaf yang dilakukan pelaku adalah suatu fase “reda” dari suatu siklus. Biasanya setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan kembali bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut emosi pelaku, maka kekerasan akan terjadi lagi.
Untuk mengubah seseorang itu susah! Harus dimulai dari dirinya sendiri. Psikolog saja cuma memberi tahu konsekuensi suatu tindakan seseorang dan pada akhirnya orang itulah yang memutuskan untuk berubah. Daripada berkeinginan mengubah orang, lebih baik ketika kita mulai merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, katakan terus terang pada pacar bahwa perilakunya mulai tidak menenangkan. Ceritakan masalah ini pada teman atau keluarga supaya kita dapat bantuan. Enggak perlu malu. Ini cara paling baik supaya kita enggak makin tertindas. Cara lain, Putus! Remaja mesti tahu bahwa pacaran yang baik itu adalah saat mereka saling menghargai, bukan menyakiti.
Sebuah hubungan adalah sehat ketika kita dan pacar membuat keputusan bersama, mampu mendiskusikan perbedaan pendapat, saling mendengarkan, saling menghargai, mau berkompromi, merasa nyaman jika melakukan kegiatan sendirian tanpa pacar dan tidak ada yang berusaha mengontrol hubungan.
Pacaran yang baik yaitu dengan saling jujur di awal pacaran, memberikan ruang pada pacar, jangan berharap pacar bisa mengatasi segala masalah atau memberikan semua keinginan kita dan yang paling penting, perlakukanlah pacar seperti halnya kita ingin diperlakukan.
Senin, 15 November 2010
Primadona Desa
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 23.41Contoh kasus masyarakat perkotaan dan pedesaaan
Thursday, 21 October 2010 06:25
oleh : Noviandri Nurlaili K
Sebagai sebuah negara berkembang Indonesia tak luput juga mengalami masalah yang kerap kali dialami oleh negara-negara berkembang lainnya yaitu urbanisasi. Di saat pembangunan ekonomi masih berfokus pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi dalam besaran nominal ketidakmerataan seolah menjadi alasan yang tak terbantahkan untuk fenomena ini.
Kota-kota besar di mana pelabuhan dan infrastruktur ekonominya telah memadai akan dipadati oleh pemburu kerja yang mengais nafkah. Sedangkan pedesaan yang belum menampilkan potensi fisik yang menawan akan terus ditinggalkan oleh para penghuninya.
Kondisi ini terbalik dengan Singapura misalnya. Bentuk negaranya hanya terdiri dari kota-kota hingga fenomena ini tidak mungkin terjadi.
Tidak dapat terelakkan urbanisasi menghasilkan eksternalitas negatif bagi masyarakat perkotaan. Tumpukan masyarakat memang telah membuka potensi pasar yang besar untuk kegiatan ekonomi. Namun, jumlah konsumsi yang membengkak ini juga akan menghasilkan tumpukan sampah dalam jumlah besar.
Maka tengoklah Bantar Gebang untuk menyaksikan bahwa mungkin dalam beberapa tahun lagi tempat itu sudah tidak dapat menampung lagi sampah DKI Jakarta. Selain itu angka kriminalitas di perkotaan juga meningkat seiring dengan kedatangan pendatang yang terdesak oleh kebutuhan hidup di kota.
Lantas, adakah solusi sejati bagi masalah ini. Sebaik apa pun kebijakan yang diciptakan untuk menyelesaikan masalah ini hanya dapat efektif ketika ada kesadaran dari masyarakat. Baik di desa maupun di kota. Kesadaran untuk berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan pembangunan bangsa termasuk memperlancar program pemerataan ekonomi daerah.
Bila kita menilik, selain kedatangan pendatang yang merantau untuk mencari pekerjaan kota-kota besar juga disesaki oleh pelajar maupun alumni dari sekolah maupun universitas terkemuka di kota besar. Mereka pergi dari daerah asalnya untuk menuntut ilmu dan enggan kembali karena beberapa alasan.
Pertama, potensi ekonomi yang mungkin mereka peroleh di desa jauh lebih kecil dibandingkan potensi ekonomi perkotaan. Kedua, ilmu, pengetahuan, dan skills yang telah mereka peroleh melalui pendidikan tidak akan terberdayakan apabila kembali ke desa. Hal ini dikarenakan beragam pekerjaan di desa masih menggunakan kekuatan fisik sebagai modal ketimbang ilmu yang dipelajari di sekolah.
Karenanya menciptakan primadona di negeri sendiri adalah membangun surga peradaban di desa. Hal ini bisa dimulai dengan pembangunan infrastruktur di pedesaan. Ini adalah syarat mutlak dari setiap proses pembangunan. Proses ini kemudian dilanjutkan dengan memberikan insentif bagi setiap tenaga terdidik ini untuk kembali ke desanya.
Layaknya program transmigrasi pemerintah tenaga terdidik ini akan diberikan sarana dan prasarana dalam rangka membangun ekonomi daerahnya. Misal membangun UMKM atau koperasi kerajinan yang merupakan potensi daerah setempat. Geliat-geliat ekonomi rakyat inilah yang akan menjadi trigger bagi pembangunan lainnya yang akan menarik potensi modal masuk ke desa.
Ketika semua syarat ini terpenuhi; infrastruktur, modal, dan SDM, maka bukan tidak mungkin pendapatan sebuah desa akan menjadi berlipat ganda. Maka, prinsip utama dalam penyelesaian masalah ini adalah kesadaran dan kesungguhan dalam berbuat. Pemerintah mutlak memenuhi syarat infrastruktur tersebut yang harus diikuti oleh kesadaran membangun oleh setiap warga negara Indonesia.
Kerja sama dari semua pihaklah yang pada dasarnya akan mempercepat proses pemerataan ekonomi, yang akan mengurangi tingkat urbanisasi di Indonesia. Maka pemuda dan pelajar Indonesia ada lapangan luas terbentang di setiap pelosok daerah untuk dikembangkan. SDM berkualitas pun juga menjadi syarat perubahan ini dan sebagai golongan terdidik.
Kesadaran pelajar dan mahasiswa inilah yang akan menciptakan gerakan perubahan turun ke bawah dan merangsang gerakan ekonomi rakyat. Tidakkah terlalu munafik pada kenyataan untuk sekedar berdiam diri di kota?
http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=48283:primadona-desa&catid=57:gagasan&Itemid=65
Banyak warga desa yang berpindah tempat tinggal ke kota dengan alasan ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari segi ekonomi, sosial, maupun pendidikan.Hingga jumlah masyarakat di kota membludak tinggi dan mungkin tidak semua mendapatkan apa yang telah direncanakannya. Sebenarnya kita dapat meningkatkan proses pembangunan di desa dengan melakukan pembangunan infrastruktur di pedesaan. kemudian dilanjutkan dengan memberikan insentif bagi setiap tenaga terdidik ini untuk kembali ke desanya. Dengan didirikannya UMKM atau koperasi kerajinan yang merupakan potensi daerah setempat. Maka dari situlah ekonomi rakyat yang akan menjadi trigger bagi pembangunan lainnya yang akan menarik potensi modal masuk ke desa. Sehingga tidak hanya pada daerah perkotaan tetapi perdesaan pun dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam besaran nominal yang dapat mensejahterakan masyarakat menjadi SDM yang berkualitas.
Aliran Sesat Kesalahan Pendidikan Agama
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 22.11Contoh kasus dari Agama dan masyarakat
Wednesday, 14 November 2007
Jakarta,(APIndonesia.Com). Banyaknya pelajar dan mahasiswa yang terjebak aliran sesat karena guru-guru agama lebih mementingkan pengetahuan agama dari pada pendidikan agama yang membentuk prilaku anak didik.
Tokoh pendidikan Dr. Arif Rahman, Selasa (13/11), mengingatkan akibat pendidikan agama yang hanya sekedar memberi pengetahuan agama terhadap anak didik menyebabkan mereka rentan dengan ajaran yang bertentangan denga ajaran agama termasuk aliran sesat.
Jakarta,(APIndonesia.Com). Banyaknya pelajar dan mahasiswa yang terjebak aliran sesat karena guru-guru agama lebih mementingkan pengetahuan agama dari pada pendidikan agama yang membentuk prilaku anak didik.
Tokoh pendidikan Dr. Arif Rahman, Selasa (13/11), mengingatkan akibat pendidikan agama yang hanya sekedar memberi pengetahuan agama terhadap anak didik menyebabkan mereka rentan dengan ajaran yang bertentangan denga ajaran agama termasuk aliran sesat.
“Ketika orang menemui banyak masalah, maka masalah yang dihadapinya itu tidak bisa dijawab oleh agamanya. Hal itu terjadi karena pendidikan agama yang diperolehnya hanya untuk mengetahui tentang agama, tidak membiasakan agama sebagai pemecah masalah,” ujarnya.
Penyebab lain orang rentan tersusupi ajaran sesat karena tidak semua orang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan kesulitan yang dia hadapi. Karena itu, ketika dia menemui kesulitan dalam hidupnya, dia mencari jalan keluar pada hal-hal yang di luar aturan agama.
“Remaja dan pemuda paling rentan terhadap aliran sesat, karena orang sesusia mereka selalu ingin tahu, tapi lebih banyak mempergunakan akal dari pada hal-hal yang tidak masuk akal. Sedangkan agama memang banyak hal-hal yang tidak masuk akal yang harus kita imani dan percayai,” jelasnya.
Karena itu diharapkannya orang tua lebih banyak meluangkan waktu untuk melakukan dialog dengan anak-anaknya untuk menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan keingin-tahuan si anak sehingga mereka tidak memperoleh jawaban dari aliran sesat.
Disamping itu pembinaan mental remaja dan pemuda seperti masjid dan gereja tidak hanya menjadi wadah kegiata remaja dan pemuda yang bersifat seremonial, tapi juga menjadi lembaga yang dapat mejawab problema sosial. (dalin).
http://apindonesia.com/new/index.php?option=com_content&task=view&id=233&Itemid=53
Aliran sesat seperti kasus diatas sebaiknya segera ditidaklanjuti agar penyebaran yang melenceng dari jalur agama tersebut tidak menyebar luas. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menyelesaikan aliran sesat seperti itu yaitu, pemerintah hendaknya menggalakkan pendidikan agama di masyarakat dengan meningkatkan porsi pendidikan moral dan agama di kurikulum pendidikan anak sejak dini. Mendirikan banyak taman bacaan yang berisi buku-buku penuh ilmu, memformat ulang konsep pengajian sehingga berbentuk diskusi agar masyarakat dapat mengetahui hakikat agama yang sebenarnya dan menuntun seorang individu agar tidak melakukan hal-hal yang melenceng dari jalur agama. Setiap ajaran yang dicurigai hendaknya segera dilaporkan kepada MUI, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk diselidiki lebih lanjut. Dan MUI sudah seharusnya introspeksi untuk lebih kreatif dalam mensyiarkan agama agar penyampaiannya tidak disalah artikan dalam masyarakat. Serta mendirikan media terutama tivi yang khusus meliput kegiatan para pemuka agama yang benar-benar bisa mewakili apa yang dirasakan oleh masyarakat. Pihak yang berwenang seharusnya melakukan pendekatan yang lebih baik kepada para pemeluk aliran sesat tersebut, yang lebih baik ketimbang mengusir orang dari rumahnya, menggerebek, dan sebagainya. Karena cara-cara seperti itu malah membuat mereka semakin kuat memegang keyakinannya.
Senin, 08 November 2010
Membangun Teknologi Berbasis Pedesaan
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 01.16contoh kasus ILmu Pengetahuan, Teknologi dan Kemiskinan
Oleh : Silverius Bangun | 04-Aug-2009, 03:44:59 WIB
KabarIndonesia - Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau bahasa kerennyaInformation Communication and technology (ICT) dewasa ini berkembang dengan cepat. Bahkan dalam dekade terakhir ICT dianggap menjadi instrument yang kuat untuk pembangunan dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lain lain.
Namun demikian, manfaat ICT telah terbagi secara tidak merata antar sektor-sektor dan kelompok-kelompok sosioekonomi, antara wilayah pedesaan dan perkotaan, serta antara perempuan dan lelaki. Kemiskinan, buta aksara dan kurangnya kemampuan menggunakan komputer serta hambatan bahasa merupakan faktor-faktor yang menghalangi akses ke infrastruktur ICT, terutama di negara-negara berkembang. Tidak meratanya distribusi penerapan ICT antara perkotaan dan pedesaan ini menjadi sebuah permasalahan yang harus dipecahkan oleh masyarakat pedesaan.
KabarIndonesia - Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau bahasa kerennyaInformation Communication and technology (ICT) dewasa ini berkembang dengan cepat. Bahkan dalam dekade terakhir ICT dianggap menjadi instrument yang kuat untuk pembangunan dari sisi ekonomi, sosial, budaya dan lain lain.
Namun demikian, manfaat ICT telah terbagi secara tidak merata antar sektor-sektor dan kelompok-kelompok sosioekonomi, antara wilayah pedesaan dan perkotaan, serta antara perempuan dan lelaki. Kemiskinan, buta aksara dan kurangnya kemampuan menggunakan komputer serta hambatan bahasa merupakan faktor-faktor yang menghalangi akses ke infrastruktur ICT, terutama di negara-negara berkembang. Tidak meratanya distribusi penerapan ICT antara perkotaan dan pedesaan ini menjadi sebuah permasalahan yang harus dipecahkan oleh masyarakat pedesaan.
Distribusi yang tidak merata ini disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu kurangnya minat dari provider untuk membangun koneksi di pedesaan, kurangnya perhatian dari aparat pemerintah untuk membuat kebijakan stategis di ICT, kurangnya pengetahuan masyarakat dan rendahnya sosialisasi kepada masyarakat tentang manfaat ICT. ICT merupakan corong informasi yang sangat baik, sehingga semakin rendah penerapan ICT di suatu daerah, maka semakin rendah juga akses informasi yang diperoleh oleh masyarakat.
Kesenjangan akses informasi antara pedesaan dan perkotaan akan menyebabkan kesenjangan di seluruh lini. Dalam bentuk skema sebagai berikut:
Dari skema terlihat bahwa kesenjangan akses informasi akan berkorelasi dengan kesenjangan pengetahuan, sehingga terjadi kesenjangan kesempatan, kesenjangan kemampuan yang berakibat kepada kesenjangan asset/harta, hal ini menyebabkan kesenjangan spesial dalam bentuk hiburan dan berakibat juga terhadap kesenjangan sosial.
Skema di atas menjadi sebuah pembelajaran yang penting bahwa akses informasi merupakan sebuah pintu gerbang keberhasilan. Masyarakat sering tidak memperoleh informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, kondisi harga, dan informasi lain.
Masyarakat pedesaan memerlukan ICT untuk memperoleh informasi secara langsung dari sumbernya. ICT akan memfasilitasi masyarakat pedesaan dengan stake holders, penguasa, masyarakat sekitar. Sebagai contoh, masyarakat pedesaan sering sekali tidak mengetahui informasi tentang kebijakan pemerintah daerah, sehingga masyarakat sering dipungli oleh aparat pemerintah. Masyarakat juga sering tidak memperoleh informasi tentang harga pasar hasil pertanian, serta ketidaktahuan masyarakat tentang subsidi–subsidi yang menjadi hak mereka.
Kaum intelektual di tingkat desa harus mampu menjebatani ketidakberdayaan masyarakat awam dalam menghadapi perkembangan yang demikian cepat. Untuk itu, Penulis sebagai putra daerah Tigabinanga sangat mendukung program–program intelektual muda Tigabinanga dalam usaha membangun Tigabinanga berbasis ICT.
Gerakan-gerakan pembangunan di bidang IT ini sudah dimulai dengan hadirnya SMK Komputer Aladelphi di Tigabinanga, Rental–rental komputer di Tigabinanga, Warnet–warnet di Tigabinanga dan tentu saja web kesayangan Tigabinanga.net.
Melihat fenomena di atas, untuk lebih mengembangkan ICT di pedesaan khususnya, sangat dibutuhkan relawan–relawan ICT di Tigabinanga. Relawan ini dapat dibentuk dalam bentuk komunitas sosial.
Pembangunan Relawan IT ini sudah penulis terapkan di sebuah kecamatan di Jogjakarta dan hingga sekarang relawan ini aktif memberikan pelatihan, sosialiasi ke tengah masyarakat, sehingga seluruh masyarakat melek ICT.
Apakah ini bisa diterapkan di Tigabinanga? Ini adalah langkah yang sangat masuk akal, karena Tigabinanga dipenuhi oleh Sumber Daya Manusia yang handal dan berkualitas. Akhirnya mari berjuang untuk Tigabinanga Berbasis ICT.(*)
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=11&jd=Membangun+Teknologi+Berbasis+Pedesaan&dn=20090804032458
Penanggulangan kemiskinan atau pengurangan merupakan program yang bertujuan meningkatkan kesejahtraan masyarakat, baik ekonomi, social, politik maupun lingkungan. Tekhnologi informasi dan komunikasi diperkenalkan kepada masyarakat untuk meningkatkan akses mereka terhadap pelayanan dasar dan kegiatan-kegiatan pengembangan ekonomi.
Diharapkan dengan adanya ICT ini budaya informasi dan komunikasi di pedesaan yang tradisional bersifat Top-Down, hirarkis, paternalistic, searah, tersentral dan sebagainya berubah menjadi lebih terbuka dan partisipatif. Jadi pengentasan kemiskinan bebasis ICT bukan hanya mencoba menekankan pada aspek pengembangan ekonomi saja melainkan juga pada aspek social, politik, lingkungan dan individu. Nantinya diharapkan setiap Pepadu Sasak bisa menggunakan hak-haknya, lebih berdaya, lebih percaya diri dan memiliki kemampuan untuk bersaing.
Minggu, 07 November 2010
Protes Mewarnai Peringatan Kartini
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 23.35contoh kasus Pelapisan Sosial dan Persamaan Derajat
22/04/2005 01:57
Liputan6.com, Bandung: Peringatan Hari Kartini, Kamis (21/4), diwarnai unjuk rasa di sejumlah daerah. Tuntutan penghapusan diskriminasi dan pelecehan martabat perempuan yang dinilai masih terjadi saat ini menjadi tema unjuk rasa. Di Bandung, Jawa Barat, misalnya. Sekitar seratus mahasiswi muslim yang menggelar aksi di depan Gedung Sate, menuntut persamaan derajat bagi kaum wanita di negara-negara Asia Afrika.
Di Semarang, Jawa Tengah, demonstrasi lebih menfokuskan pada penolakan terhadap pornografi yang banyak mengeksploitasi wanita. Para pengunjuk rasa menyesalkan perjuangan Kartini untuk menempatkan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki justru dibelokkan kaum perempuan sendiri. Mereka menilai, sekarang banyak wanita yang rela menjadi obyek pornografi.
Masih di Semarang, aksi teaterikal mewarnai unjuk rasa yang digelar mahasiswa seni yang tergabung dalam Konsorsium Malu-Malu Perempuan dan Laki-Laki. Pertunjukan ini menggambarkan kehidupan kaum perempuan yang masih tetap terbelakang dibandingkan kaum laki-laki.
Di Medan, Sumatra Utara, aktivis Partai Keadilan Sejahtera berdemonstrasi mengecam maraknya eksploitasi perempuan dalam bentuk obyek pornografi dan pornoaksi. Para perempuan ini menilai eksploitasi wanita telah mencederai nilai-nilai luhur perjuangan emansipasi kaum perempuan.(ORS/Tim Liputan 6 SCTV)
http://berita.liputan6.com/sosbud/200504/99944/Protes.Mewarnai.Peringatan.Kartini
Dalam pandangan agama keberadaan laki-laki dan perempuan merupakan mahkluk yang mempunyai status yang sama baik dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah (mengabdi) maupun sebagai wakil Allah di bumi (khalifah). Antara yang satu dengan yang lain tidak terdapat superioritas baik dari segi asal usul kejadiannya maupun struktur sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, prinsip murni dalam Al-Qur'an adalah kesetaraan total antara laki-laki dan perempuan sebagaimana ditunjukkan oleh adanya tanggung jawab yang sama di hadapan Allah pada hari pembalasan .
Pada dasarnya setiap manusia, entah itu perempuan maupun laki-laki, memiliki tugas dan tanggung jawab yang bisa dikatakan sama. Memiliki hak dan kewajiban yang seimbang sesuai dengan tempat dan kapasitasnya masing-masing hingga tidak terjadi tindakan / sikap yang di anggap kurang pantas.
Pemerintah Diimbau Stop Pengiriman TKI ke Malaysia
Diposting oleh ...:::PinKLuvLy:::... di 18.26Contoh Kasus Warga Negara dan Negara
Metro Siang / Polkam / Selasa, 21 September 2010 12:01 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengimbau pemerintah memberhentikan pengiriman TKI ke Malaysia. Demikian diserukan Jumhur, Selasa (21/9) menanggapi maraknya lagi kasus penyiksaan terhadap TKI di negeri orang.
Menurut Jumhur, TKI legal di Malaysia pun masih menerima tindak kekerasan. Pemerintah mesti memberhentikan pengiriman TKI sampai benar-benar muncul kepastian perlindungan hukum yang baik di Malaysia.
Baru-baru ini seorang tenaga kerja asal Garut, Jawa Barat, mengaku dianiaya dan diperkosa majikan selama bekerja di Arab Saudi. Ialah Hotimah binti Ajun. Ia sudah mengadukan kasus itu Bupati Garut Aceng Fikry, Senin kemarin.
Pilu, Hotimah mengaku dicambuk dan dipukuli selama dua tahun bekerja di Arab Saudi. Warga Desa Karang Wangi, Kecamatan Mekar Mukti, itu juga membawa sejumlah bukti memperkuat laporan tersebut.
Adapun Wahyu Susilo, pendiri Migrant Care angkat bicara soal Munfaidah. Ia menilai, kendati Munfaidah korban perdagangan (trafficking), pemerintah wajib membela Munfaidah. Munfaidah adalah warga Negara Indonesia yang berhak mendapat perlindungan hukum Indonesia. (*****)
http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/09/21/113540/Pemerintah-Diimbau-Stop-Saja-Pengiriman-TKI
Sebaiknya, ada kebijakan dari pemerintah yang harus dapat menemukan solusi lain nya seperti menindak siapapun yang berbuat tindakan yang tidak baik kepada para tki ,karena tindakan kriminal yang telah banyak dilakukan oleh masyarakat malaysia kepada TKI Indonesia. seperti halnya TKI indonesia yang berbuat salah di Malaysia yang juga terancam di hukum gantung, maka hal tersebut juga harus berlaku pada masyarakat malaysia yang melakukan tindakan kriminal pada TKI. Negara harus lebih pro aktif lagi dalam menangani kasus kekerasan thd TKI serta meminta perlindungan hukum terhadap negara tujuan, bagaimanapun suatu hubungan harus didasarkan pada hubungan yang saling menguntungkan, tanpa merugikan pihak manapun.