Senin, 20 Desember 2010

PERJUANGAN ORMAS KEDAERAHAN

PERJUANGAN ORMAS KEDAERAHAN merupakan contoh kasus dari prasangka, diskriminasi dan etnosentrisme.

Ormas (Organisasi Masyarakat) Betawi kerap memunculkan kontroversi. Lantaran banyak nilai antitesa prasangka publik terhadap mereka.

Keberadaan Ormas Betawi hampir pasti membuat miris masyarakat Jakarta. Segala hal terkait Ormas Betawi selalu mendapatkan persepsi buruk. Beragam alasan mencuat, namun umumnya masyarakat tidak menyukai Ormas Betawi, karena kericuhan yang kerap mereka buat.

Sebut saja Forum Betawi Rempug (FBR), yang pernah bersitegang bahkan bentrok dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), beberapa waktu lalu kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat.

Pemicunya tak lain, penertiban pada pedagang kaki lima di GOR Johar Baru. Salah seorang anggota Satpol PP diduga telah menurunkan bendera Ormas FBR. Aparat kepolisian kewalahan menengahi mereka, meski akhirnya keributan bisa berkahir.

Ormas (Organisasi Masyarakat) Betawi kerap memunculkan kontroversi. Lantaran banyak nilai antitesa prasangka publik terhadap mereka.

Keberadaan Ormas Betawi hampir pasti membuat miris masyarakat Jakarta. Segala hal terkait Ormas Betawi selalu mendapatkan persepsi buruk. Beragam alasan mencuat, namun umumnya masyarakat tidak menyukai Ormas Betawi, karena kericuhan yang kerap mereka buat.

Sebut saja Forum Betawi Rempug (FBR), yang pernah bersitegang bahkan bentrok dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), beberapa waktu lalu kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat.

Pemicunya tak lain, penertiban pada pedagang kaki lima di GOR Johar Baru. Salah seorang anggota Satpol PP diduga telah menurunkan bendera Ormas FBR. Aparat kepolisian kewalahan menengahi mereka, meski akhirnya keributan bisa berkahir.

Contoh kasus lain yang memperjelas prasangka masyarakat terhadap Ormas-ormas Betawi sehingga tercap sebagai organisasi preman. Kasus penganiayaan FBR terhadap LSM Urban Poor Consortium pimpinan Wardah Hafidz 28 Maret 2003 di kantor KOMNAS HAM. Tujuh diantara anggota FBR ini menjalani proses hukum dan di vonis bersalah, dengan dakwaan berlapis, 31 Maret 2003. Pasalnya selain penganiyaan mereka juga melakukan perusakan kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat. Pemicunya tak lain kericuhan dengan etnis lain, yang mengakibatkan tewasnya salah satu pentolan FBR Aji Mustofa, di kawasan Rumah Susun Pulo Mas.

Bagi penulis, keberadaan Ormas Betawi memiliki daya tarik untuk diperbincangkan. Hal ini tidak sekonyong-konyong muncul, tetapi lebih dikarenakan keberadaan Ormas Betawi memang kontroversial di tengah masyarakat. Perhatian publik terseret terhadap keberadaan ormas ini, lantaran media massa sering melansir peristiwa yang terkait dengan prilaku ormas berbau etnis ini.

Aroma kriminal FBR, mulai dari pemukulan terhadap sesama warga hingga tindakan kebrutalan, menjadi berita besar media massa. Efeknya jelas, mayoritas masyarakat memiliki prasangka negatif terhadap ormas-ormas Betawi itu.

Sekilas Tentang Ormas Betawi
Sebelum kita membahas latar belakang munculnya prasangka negatif terhadap Ormas Betawi, ada baiknya kemunculan organisasi-organisasi di Jakarta khususnya yang berbasis orang-orang Betawi menjadi telaahan utama.

Awal mula (sejarah) munculnya Ormas Betawi tak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat yang ada di Jakarta, khususnya untuk etnis Betawi. Pada saat sebelum berkumpulnya masyarakat Betawi dalam Perkoempoelan Kaoem Betawi, masyarakat Betawi lebih sering menyebut dirinya dengan Orang Rawabelong, Orang Mester (Jatinegara), Orang Marunda, dll.

Perkoempoelan Kaoem Betawi (PKB) berdiri pada tahun 1923 saat dinamika politik Indonesia makin terasa hangat. Sementara rata-rata orang Betawi jarang menyebut diri mereka sebagai orang Betawi, tetapi lebih terasosiasi pada domisili lokal tempat mereka tinggal, maka dibentuklah PKB.

M. Maseri, Thabri Thamrin, dan Abdul Manaf merupakan salah satu tokoh muda pendiri PKB pada 11 Januari 1923. Tujuan awal pembentukan PKB ini, untuk meningkatkan pendidikan kaum Betawi serta peningkatan di bidang kebudayaan, kesehatan dan sektor hidup lainnya.

Orientasi gerakan PKB condong pada gerakan politik. Hal ini lebih disebabkan kesadaran dari kalangan terdidik Betawi sudah tinggi. Mereka menginginkan kaum Betawi berperan sebagai subjek politik, bukan sebaliknya.

Kiprahnya dalam dunia politik, PKB juga turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Penerusnya, Mohammad Husni Thamrin yang tak lain adalah anak dari Thabri Thamrin, menjadikan PKB lebih dinamis. Tahun 1928 PKB bergabung dengan organisasi pemuda lainnya dalam even Sumpah Pemuda. Rapat raksasa di Lapangan Ikada September 1945 pun, mereka ikut terlibat.

Sederhananya hal-hal tersebut menggambarkan keadaan masyarakat Betawi yang inklusif, terbuka terhadap etnis lain, juga dapat bekerja dengan semangat kebersamaan. Kehidupan masyarakat Betawi berjalan damai beriringan bersama etnis lain di Jakarta.

Semenjak Indonesia merdeka dan memasuki masa Orde Lama (Orla), banyak perkumpulan suku yang berdiri di Jakarta. Keadaan ini berubah ketika Indonesia berada pada masa Orde Baru, segala kelompok etnis mendapatkan tindakan preventif untuk berkembang. Akibatnya jumlah organisasi masyarakat berbasis kesukuan tidak dapat berkembang.

Sementara untuk daerah Jakarta, etnis Betawi masih mendapatkan ruang untuk membentuk Ormas. Beberapa contoh ormas Betawi yang bisa berkembang seperti: Persatuan Masyarakat Jakarta Moh. Husni Thamrin (Permeta MHT), Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB), Lembaga Kebudayaan Jakarta (LKB), dan lainnya serta adanya Badan Musyawarah Mayarakat Betawi yang disebut Bamus Betawi.

Bamus berdiri pada tanggal 22 Juni 1982, tujuanya untuk mempersatukan kaum dan masyarakat Betawi. Semenjak itu Bamus menjadi organisasi induk Ormas-ormas Betawi seperti yang disebutkan di atas. Jumlah awal Ormas Betawi yang bergabung dengan Bamus ada sejumlah sebelas Ormas, kini jumlah ormas Betawi yang bergabung dengan Bamus bertambah banyak, sekira 114 Ormas Betawi.

Bentuk ormas yang tergabung dalam Bamus tidak hanya bergerak dalam pengorganisiran massa (FBR, Forkabi, POB, dll), ada juga yang bergerak sebagai lembaga cagar budaya (LKB), dalam bidang kedokteran (Ikatan Dokter Jakarta), dan lain-lain.

Kelahiran Bamus tak lepas dari siasat politik yang dilakukan oleh masyarakat Betawi kala itu. Sebagaimana yang telah diketahui, pada masa Orde Baru, di Indonesia marak terjadi “penyeragaman”. Maka bagi siapa yang tidak sepaham dan berbeda dapat dianggap sebagai musuh; dan punya konsekuensi dibinasakan.

Masyarakat Betawi dikenal taat dalam beribadah dan memiliki nuansa keagamaan yang kental. Hal ini ikut berpengaruh dalam kecenderungan memilih partai politik, saat Orde Lama sekitar 90% masyarakat Betawi memilih Partai Masyumi. Masa Orde Baru, masyarakat Betawi pun memilih PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Jadi, pembentukan Ormas Betawi adalah demi mempertahankan identitas diri yang dikenal oleh masyarakat Betawi sebagai budaya mereka. Selain sebagai usaha memajukan masyarakat Betawi sendiri.



Ormas Betawi Kini dan Prasangka
Setelah rezim Orde Baru runtuh, angin segar kebebasan berorganisasi menjadi faktor utama dalam menopang perkembangan Ormas-Ormas. Termasuk Ormas Betawi mengalami perkembangan dari segi kuantitias. Penyeragaman ideologi (Pancasila) yang terjadi pada masa Orde Baru sudah menjadi angin lalu. Organisasi tumbuh bak jamur di musim hujan, ideologi etnis berkembang pesat merambahi komunitas dan kelompok suku di Jakarta, khususnya Ormas Betawi.

Salah satu Ormas Betawi yang muncul setelah bergantinya masa Orde Baru adalah FBR. Setidaknya Ormas ini, paling sering menyedot perhatian publik. FBR berdiri 29 Juli 2001, dengan ketuanya H. Fadholi El Munir.

Tidak jauh berbeda dengan organisasi-organisasi berbasis masyarakat Betawi yang muncul sebelumnya, FBR muncul sebagai wadah aspirasi masyarakat Betawi untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Betawi sebagai etnis lokal Jakarta.

Dalam buku yang ditulis oleh Solemanto, “KH. A. Fadholi El Munir, Jejak Langkah Sang Kiai”, kemunculan FBR berawal dari keprihatinan terhadap mayarakat Betawi yang seolah terasing di tanah kelahirannya sendiri. Dalam buku itu, tergambar adanya diskriminasi terhadap orang Betawi. Salah satunya masalah lapangan pekerjaan, jika orang betawi melamar kerja di pabrik saja selalu mendapat penolakan dengan alasan penuh. Kesulitan mendapatkan pekerjaan di kampung sendiri inilah yang menjadi preseden buruk, sementara setiap saat mereka harus terima beragam polusi, bising, dan hiruk pikuk masyarakat lainnya yang jelas-jelas mengganggu kehidupan orang Betawi.

Niatan membentuk FBR berjalan tersendat. Pasalnya pertentangan dari kalangan Betawi, pihak kepolisian maupun pemerintah menjadikannya runyam. Deklarasi FBR saja sudah membuat instansi terkait kelimpungan, hingga berakibat pemanggilan terhadap pimpinan FBR Fadholi el Munir dan Luthfi Hakim. Kendati demikian, deklarasi jalan terus tanpa ada insiden apapun yang membahayakan.

Dalam konteks Jakarta, kemunculan ormas-ormas tidak hanya disebabkan oleh terbukanya keran kebebasan berorganisasi, melainkan juga disebabkan terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi, khususnya masyarakat Betawi. Marginalisasi ini datang dari pemerintah pusat maupun dari dunia usaha. Efeknya, ditandai dengan berpencarnya masyarakat Betawi ke pinggiran kota Jakarta, serta banyaknya pemuda Betawi yang menjadi pengangguran.

Dengan implikasi yang tidak dapat disebut remeh tersebut, tidaklah berlebihan jika dikatakan pemerintah pusatlah penyebabnya (pada masa Orde Baru). Karena masa Orde Baru, garis komando dalam sektor ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan kebudayaan dipegang pemerintah pusat.

Tentu masih dapat kita ingat, masa Orde Baru, bunyi gaung-gaung pembangunan sangatlah besar. Dan Jakarta sebagai ibu kota negara punya keharusan untuk berbenah. Usaha berbenah ini meninggalkan “borok” bagi masyarakat Betawi sendiri. Banyak tanah-tanah adat milik orang Betawi yang diambil oleh pemilik modal yang berganti jadi bangunan megah berbau kapitalis.

Laju migrasi yang tak bisa ditahan, menjadi instrumen terlaksananya proyek pembangunan pada masa Orde Baru di Jakarta, akibatnya orang Betawi semakin terpinggirkan.

Secara demografi, pada tahun 1930, suku Betawi di Jakarta sebanyak 778.953 jiwa, dan masih menjadi mayoritas. Tiga puluh tahun masyarakat Betawi telah menjadi kaum minoritas. Menurut catatan tahun 1961 suku Betawi mencakup kurang lebih 22,9% dari 2,9 juta penduduk Jakarta. Dan kehadiran orang-orang dari desa ke Jakarta semakin membuat Jakarta sesak dan menyingkirkan masyarakat lokalnya yakni, masyarakat Betawi.
Sikap marjinalisasi terhadap masyarakat Betawi tersebut akhirnya mendorong setiap elemen masyarakat Betawi untuk mempertahankan diri; membentuk ormas adalah salah satu jalannya.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, Ormas-ormas yang bertujuan mempertahankan eksistensi etnisnya mulai berjalan di luar tujuan awal. Sebagaimana dengan dua contoh kasus yang telah disebutkan di atas. Timbul prasangka dari masyarakat umum terhadap ormas-ormas Betawi. Mayoritas, berasumsi ormas Betawi bergerak dan bertindak dengan latar etnosentrisme. Karena tindakan mereka cenderung menganggap baik orang-orang dalam kelompok sendiri, dan menganggap buruk kelompok lainnya.
Prasangka ini semakin mendapatkan pembenaran ketika seringnya Ormas-Ormas Betawi muncul di media massa sebagai dalang kerusuhan. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt dalam bukunya “Sosiology, Sixht Edition” menjelaskan fenomena semacam ini, yaitu fenomena yang biasa disebut “diskriminasi balik”. Jika diskriminasi biasanya dilakukan oleh kelompok dominan agar dapat mempertahankan hak-hak istimewanya, maka tidak demikian dengannya. Diskriminasi balik lebih mengutamakan kelompok yang tidak dominan, yang para anggotanya dibatasi oleh diskriminasi pada masa lalu, atau oleh diskriminasi yang berlaku sekarang.

Prasangka-prasangka tersebut terus mengalir di hampir setiap media massa. Seolah ormas Betawi adalah aktor yang perlu disorot setiap melakukan tindakan brutal. Pemberitaan semacam ini akhirnya dapat membentuk citra negatif di alam bawah sadar manusia. Atau dalam istilah sosiologi disebut “konstruksi sosial”.



Pencagaran Terhadap Budaya
Salah satu hal yang menjadi identitas diri (baik individu maupun kelompok) adalah budaya. Maksudnya untuk mengenal identitas diri tidaklah cukup hanya dengan berdasarkan konstruksi sosial (pencitraan) yang dibuat oleh media massa. Tetapi dengan memahami kebudayaan masyarakat tertentu, kita akan mengenal identitas dirinya.
Sebagai contoh, pemberitaan media massa yang sangat massif tentang tindakan brutal ormas Betawi, bukanlah bentuk kebudayaan masyarakat Betawi secara hakiki. Dan hal ini tidak dapat disebut sebagai budaya masyarakat Betawi. Kalaupun perihal kekerasan ini terus terulang, ini hanyalah implementasi dari adanya resesi ekonomi dan gunjang-ganjing politik di negeri ini.

Akibat resesi ekonomi dan gonjang-ganjingnya situsasi politik tersebut membuat masyarakat Jakarta secara umum tidak sadar tentang pentingnya mengenal budaya lokal masing-masing. Tidak heran jika banyak terjadi pergeseran nilai kebudayaan dalam suatu masyarakat. Khususnya generasi muda Jakarta mulai melupakan nilai sosial dan budaya yang dimilikinya. Nilai kehidupan sosial masyarakat yang santun dan agamis tercabik-cabik oleh budaya metropolitan, sehingga banyak pemuda Betawi yang mengalami pendangkalan iman dan sulit memisahkan secara tegas antara halal dan haram.
Hingga pada gilirannya generasi muda Betawi terus menggauli zat-zat terlarang seperti narkoba, dan zat adiktif yang lainnya. Dan perilaku konsumtif menjadi identitas baru mereka. Satu hal yang paling ditakutkan adalah tidak terbangunnya kembali kesadaran budaya lokal daerah mereka, sehingga mereka tidak memiliki kepekaan sosial.

Untuk menghadapi permasalahan seperti ini, seharusnya instansi pendidikan dapat menyiasati kurikulum yang ada di dalamnya. Berikan peserta didik materi yang menggiring mereka untuk peduli terhadap khazanah budaya yang dimiliki daerahnya, bahkan bangsanya.

Ridwan Saidi, pernah menyebutkan, pewarisan nilai-nilai budaya Melayu Betawi terhadap anak-anak sekolah, terbilang rendah. Terutama dari golongan ekonomi lemah.
Memang keberadaan ormas-ormas Betawi sekarang ini kerap menimbulkan kontroversi akibat tindakan brutal mereka yang sering ditampilkan di media massa. Namun rasanya tidak bijak jika kita melihat permasalahan pada tataran permukaannya. Maksudnya, untuk konteks ormas-ormas Betawi ini, tindakan mereka ini adalah wujud aktualisasi diri, sebagai tanda bahwa masyarakat Betawi tidak dapat dipandang telah pergi dari kampungnya.

Prasangka-prasangka masyarakat terhadap ormas-ormas Betawi hanyalah pekerjaan media massa untuk mendapatkan news value, sehingga akhirnya dapat membentuk opini publik terhadap ormas-ormas Betawi.

Jadi, pernyataan Fadholi El Muhir yang mengatakan “Masyarakat Betawi harus menjadi jawara dan juragan di kampung sendiri” bukanlah sekadar pernyataan untuk menjadi preman di kampung sendiri. Melainkan upaya untuk mempertahankan harkat dan martabat dari masyarakat Betawi.

Satu hal yang perlu diperhatikan, masyarakat Betawi harus mampu mengenal kebudayaan lokalnya. Sehingga dapat mempertahankan identitas kelompok, dan kearifan local orang Betawi

http://www.didaktikaunj.org/index.php/opini/opinididaktika/69-jabbar-ramdhani

Minggu, 19 Desember 2010

KEKERASAN DALAM PACARAN (KDP)

KDP adalah judul film yang akan saya analisa. Sebelum menganalisa film KDP saya akan menceritakan sedikit sinopsis dari film KDP tersebut. Sebenarnya siih lupa-lupa inget (lebih tepatnya di inget-ingetin >,< xixixixixi..)
Ok langsung aja yuukk..
Singkat ceritanya begini..


Melati adalah seorang gadis yang tertutup dan mandiri, karena ia sudah bisa menambah uang jajannya sendiri meskipun ia masih duduk di bangku kuliah. Sebenarnya siih dy tuh berada pada lingkungan keluarga yang cukup mampu istilahnya berkecukupan laahh, hanya saja melati sering merasa kesepian karena bila tidak ada jadwal kuliah atau sedang dalam waktu senggang melati sering merasa kesepian dan kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Maklum sih soalnya kedua orang tuanya sibuk bekerja. Karena itulah melati mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan kampus dan bekerja.

Di kampus melati mempunyai seorang teman cewek yang bernama Rani. Rani adalah teman main melati tidak hanya itu merekapun sering mengerjakan tugas bersama di rumah Rani. Dari sinilah melati bertemu dengan kakak Rani yaitu jaka. Lama kelamaan jaka mulai menaruh hati pada melati. Perhatian jaka membuat melati merasa diperhatikan. Mereka pun pada akhirnya dekat dan semakin dekat sampai pada akhirnya resmi pacaran.
Kedekatan melati dan jaka pada awal-awal bulan pertama sangat baik. Kehadiran jaka dalam hidup melati membuat melati tidak merasa kesepian. Pada bulan-bulan berikutnya melati merasa ada yang berbeda dari sikap jaka selama ini. Jaka mulai bersikap kasar pada melati, tetapi pada waktu itu juga jaka langsung menyadari kesalahnya. Dengan alasan sayang dan karena jaka pernah bercerita pada melati dy sering melihat ibunya dipukuli oleh bapaknya, hal tersebut membuat melati hati luluh dan kasihan. Kejadian tersebut terus terjadi sampai pada akhirnya melatipun menceritakannya pada temannya. Teman melatipun menyarankan agar melati untuk mengambil sikap agar tidak larut dalam situasi seperti itu terus. Lama kelamaan melati merasa sangat jenuh oleh perlakuan kasar jaka yang semakin menjadi-jadi. Melati akhirnya melaporkan jaka ke pada pihak yang berwajib.

Nah kira-kira seperti itulah cerita dari film KDP yang akan saya analisa...


Banyak yang beranggapan bahwa dalam berpacaran tidaklah mungkin terjadi kekerasan, karena pada umumnya masa berpacaran adalah masa yang penuh dengan hal-hal yang indah, di mana setiap hari diwarnai oleh manisnya tingkah laku dan kata-kata yang dilakukan dan diucapkan sang pacar. Hal tersebut dapat dipahami sebagai salah satu bentuk ketidaktahuan akibat kurangnya informasi dan data dari laporan korban mengenai kekerasan ini.

Kekerasan dalam Pacaran: Sebuah Fenomena yang Terjadi pada Remaja“. Hmmm…. betul juga, ya? Tak selamanya pacaran itu indah. Ada kalanya terdapat “bumbu-bumbu” berupa saling cemburu, bahkan juga kekerasan. Kekerasan … ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual. Dari segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, meninju, menendang, menjambak, mencubit dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti cemburu yang berlebihan, pemaksaan, memaki-maki di depan umum dan lain sebagainya. Sedangkan kekerasan dalam hal ekonomi jika pasangan sering pinjam uang atau barang-barang lain tanpa pernah mengembalikannya, selalu minta ditraktir, dan lain-lain.

Masalahnya, para korban kekerasan pada umumnya tidak menceritakan kepada pihak yang berwenang terhadap masalah ini, bahkan kepada orang tuanya dan orang terdekatnya seperti teman sekalipun.

Korban dan pelaku biasanya selalu berusaha menutupi fakta yang ada dengan berbagai cara atau dalih, walaupun terkadang tanpa sengaja terungkap. Jika situasi dan keadaan sudah sangat parah (misalnya luka-luka fisik sudah tidak bisa ditutupi), biasanya korban terpaksa meminta bantuan pihak medis dan atau melaporkan kepada pihak berwajib.

Kasus kekerasan yang tidak dilaporkan biasanya karena korban merasa takut akibat ancaman oleh pacar, atau karena iba karena pelaku memohon maaf sedemikian rupa, setelah melakukan kekerasan, sehingga korban percaya bahwa pelaku benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulanginya lagi.

Padahal, sikap yang terlalu lunak dalam menghadapi kekerasan seperti itu ibarat memelihara serigala di kandang domba. Sebab, bisa saja kekerasan itu memang sudah menjadi kebiasaan si pelaku. Mungkin sikap keras si pelaku itu sudah mengakar dan akan terus berulang. Ataupun pelaku melakukan hal tersebut dikarenakan masa lalu yang membuatnya trauma, seperti ketidakharmonisan orang tuanya dapat menjadi taruma yang mendalam.

Sikap menyesal dan pernyataan maaf yang dilakukan pelaku adalah suatu fase “reda” dari suatu siklus. Biasanya setelah fase ini, pelaku akan tampak tenang, seolah-olah telah berubah dan kembali bersikap baik. Jika pada suatu saat timbul konflik yang menyulut emosi pelaku, maka kekerasan akan terjadi lagi.

Untuk mengubah seseorang itu susah! Harus dimulai dari dirinya sendiri. Psikolog saja cuma memberi tahu konsekuensi suatu tindakan seseorang dan pada akhirnya orang itulah yang memutuskan untuk berubah. Daripada berkeinginan mengubah orang, lebih baik ketika kita mulai merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, katakan terus terang pada pacar bahwa perilakunya mulai tidak menenangkan. Ceritakan masalah ini pada teman atau keluarga supaya kita dapat bantuan. Enggak perlu malu. Ini cara paling baik supaya kita enggak makin tertindas. Cara lain, Putus! Remaja mesti tahu bahwa pacaran yang baik itu adalah saat mereka saling menghargai, bukan menyakiti.

Sebuah hubungan adalah sehat ketika kita dan pacar membuat keputusan bersama, mampu mendiskusikan perbedaan pendapat, saling mendengarkan, saling menghargai, mau berkompromi, merasa nyaman jika melakukan kegiatan sendirian tanpa pacar dan tidak ada yang berusaha mengontrol hubungan.

Pacaran yang baik yaitu dengan saling jujur di awal pacaran, memberikan ruang pada pacar, jangan berharap pacar bisa mengatasi segala masalah atau memberikan semua keinginan kita dan yang paling penting, perlakukanlah pacar seperti halnya kita ingin diperlakukan.