Selasa, 29 Maret 2011

Keadilan buat Seorang Supir

Tema Manusia dan Keadilan

Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain, keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dan kekayaan bersama.

Berdasarkan kesadaran etis, kita diminta untuk tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban. Jika kita hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban, maka sikap dan tindakan kita akan mengarah pada pemerasan dan memperbudak orang lain. Sebaliknya pula jika kita hanya menjalankan kewajiban dan lupa menuntut hak, maka kita akan mudah diperbudak atau diperas orang lain.

Negara ini membutuhkan keadilan untuk bisa menata kembali kehidupan bernegaranya. Dalam berbagai tayangan di televisi dapat kita lihat bahwa betapa tidak adanya jaminan kepastian akan hukum dan keadilan dalam berbagai ruang di Negara kita.

Sepertihalnya contoh kasus dibawah ini ......

Pengacara Amir Mahmud Mendaftarkan PK Hari Ini

Kamis, 23 Juli 2009 | 10:31 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengacara Amir Mahmud, Friska Gultom, akan mendaftarkan peninjauan kembali (PK) kasus kliennya ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, hari ini (23/7) sekitar pukul 11.00 WIB.

"Berkas-berkas kepolisian, pelimpahan dan berita acara persidangan sudah lengkap," kata Friska saat dibuhungi Tempo, Kamis (23/7) pagi.



Kasus ini bermula saat Amir yang bekerja sebagai sopir di Badan Narkotika Nasional ditangkap polisi pada 19 Desember 2007. Amir ditangkap karena membawa sebutir pil ekstasi.

Sidang dakwaan kemudian mulai digelar pada 26 Februari 2008. Pada sidang pembacaan tuntutan tanggal 27 Maret 2008, jaksa mengajukan tuntutan hukuman empat tahun penjara. Menurut Amir dan istrinya, Herawati, majelis hakim mengatakan putusan akan diambil seminggu lagi. Setelah itu, Amir tak pernah lagi mengikuti sidang. Amir baru tahu, bahwa dirinya telah divonis penjara 4 tahun 30 hari setelah setahun mendekam di sel.

Sebelumnya, Mahkamah Agung menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tak melanggar prosedur. "Saya sudah tanya ketua pengadilannya. Ada sidang dan diputus," tutur Ketua MA Harifin Andi Tumpa pada 3 Juli lalu.
RINA WIDIASTUTI
Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/kriminal/2009/07/23/brk,20090723-188599,id.html

Tanggapan :

Jika dilihat dari latar belakang kasus diatas,

Amir Yusuf, seorang supir dan memiliki kehidupan yang kurang mampu, di vonis 4 tahun karena kepemilikan sebutir pil ekstasi tanpa mendengar sekalipun mendengar putusan hakim bahkan tanpa didampingi pengacara dalam prosesnya.... setelah mendekam lebih dari 19 bulan tanpa pernah dikunjungi keluarga dan mendapatkan putusan yang tidak adil, salinan putusan pengadilan baru didapatkan keluarga setelah melaporkan kasus yang bermasalah ini ke komisi yudisial dan diekspose oleh media....

Menyedihkan kondisi peradilan di Indonesia yang masih amburadul sekali.... perlakuan terhadap yang miskin dan mereka yang kaya masih berbeda...

inilah yg dialami si sopir:

[*]Selama proses penyidikan, pengadilan Amir Yusuf Tidak di dampingi pengacara.....padahal untuk kasusnya yang mempunyai ancaman max 15 thn penjara, terdakwa berhak mendapatkan pengacara yang wajib disediakan oleh pengadilan menurut Undang-undang....hakim malah membiarkan terdakwa diadili tanpa didampingi pengacara padahal gratis akan dibiayai oleh negara

[*]Proses pengadilan yang buruk, hanya 3 kali persidangan hakim memvonis terdakwa dg vonis 4 tahun, dengan anggapan kasus ini hanya kasus sederhana, sepele menurut hakim......dg kasus kepemilikan 1 butir ekstasi terdakwa di ganjar 4 tahun penjara bandingkan dg kasus kepemilikan berpuluh butur, beratus² gram narkoba oleh artis-artis, anak pejabat, orang kaya...paling² hukumannya 1 tahun itupun akan dikurangi remisi, masa penahanan jadi beberapa bulan saja.......

[*]Salinan Putusan Pengadilan tidak didapatkan oleh Polisi & Kejaksaan ....bahkan copy putusan pengadilan baru didapatkan keluarga 1 tahun setelah vonis...itupun setelah keluarga gagal memintanya kepada pengadilan dan melaporkan ketidakberesan ini ke komisi yudisial dan diekspose di media...dasarr...

Terdakwa yang tersebut karena kurang mampu baru bisa bertemu keluarganya setelah 19 bulan di tahan...kasihan

Inilah keadaan peradilan di negeri kita yang sangat buruk..........siapapun pemimpin di negeri ini harus bekerja ekstra keras untuk memperbaiki keadaan ini, menegakkan supremasi hukum, menjadikan keadilan yang sama bagi simiskin maupun si kaya...

Rasa keadilan manusia bersifat sangat subyektif…adil bagi dirinya…belum tentu adil bagi orang lain…itulah sebabnya dalam sebuah komunitas dibuat sebuah kesepakatan bersama agar sifat subjektif dari rasa keadilan manusia itu dapat dikompromikan sedemikian rupa untuk memenuhi rasa keadilan semua individu di dalam komunitas tersebut.
Hukum, peraturan, norma atau apapun namanya adalah sebuah kesepakatan bersama yang menjamin rasa keadilan sebagai sebuah kebutuhan mendasar setiap individu manusia di dalam sebuah komunitas, selain untuk menjaga keteraturan hidup di dalam komunitas itu sendiri.

Rasa keadilan dalam nuraniku terkoyak ketika kita mulai berdebat apakah kasus ini harus diteruskan ke pengadilan atau dihentikan prosesnya.

“hukum, peraturan, norma atau apapun namanya hanyalah ‘alat’…bukan ‘tujuan’…’tujuan’ hanya akan tercapai jika ‘alat’ itu digunakan oleh manusia-manusia yang memiliki nurani dan kejujuran”

Sekali lagi sungguh ironis. Tapi apa yang bisa kita lakukan supaya keadilan itu menempati posisi yang semestinya, bersikap seadil-adilnya tanpa memandang status sosial seseorang .Walaupun banyak organisasi masyarakat yang menyuarakan keadilan yang semestinya tetapi tetap rakyat Indonesia harus bersatu dan memantau terus jalannya pemerintahan dan hukum Negara agar rakyat miskin tetap bisa mendapatkan haknya.

Mari bersama kita sadari hal itu. Saya sebagai salah satu generasi muda merasa prihatin dan mencoba untuk bersikap adil pada diri saya dan lingkungan saya sebagai wujud ketidak setujuan atas apa yang sedang terjadi di negara kita. Karena saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk bisa membantu menyelesaikan permasalahan yang begitu rumit. Mungkin dengan menyumbangkan sedikit pemikiran, saya bisa membantu menyadarkan kita untuk berbuat lebih baik lagi. Untuk yang diberikan rejeki yang lebih dari cukup gunakan lah hal rejeki tersebut untuk hal yang baik karena kehidupan yang abadi ada di akhirat nanti. Apa lagi kita tahu bahwa harta yang kita kumpulkan itu digunakan pada hal yang bisa menyeret kita ke neraka (Naujubillah min jalik >,<). Percayalah bahwa keadilan di muka bumi ini boleh hancur berkeping-keping. Tetapi tidak dengan keadilan oleh ALLAH swt. Akan datang pada masanya saat itu.Mari kita benahi diri kita menjadi warga Negara yang lebih baik dan patuh terhadap hukum yang berlaku.

Senin, 07 Maret 2011

Tari Gandrung

Kesenian Gandrung merupakan ibu dari kesenian lainnya yang ada di Banyumas. Pada usia 10 tahun para wanita mulai menarikannya. Tarian Gandrungan juga biasanya dibawakan oleh penari pria atu biasa disebut Gandrung Lanang, para lelaki itu menari menggunakan pakaian tarian wanita pada umumnya.



Tari gandrung di pertunjukan oleh seorang atau dua orang gadis yang biasanya di pertunjukan di tempat terbuka diiringi oleh gamelan dan juga di pertotonkan pada hari-hari besar. Tari Gandrung memiliki ciri khas , mereka menari dengan kipas dan ketika penari menyentuh kipasnya kepada salah satu penonton biasanya laki - laki dan di ajak untuk menari.

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Tarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan, setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya merupakan kehidupan keseharian. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Awalnya orangtuanya, pasangan Mustari-Supiah tak setuju ia menari gandrung karena kakenya seorang tokoh agama, akhirnya mereka malah berbalik mendukungnya.



Meski usianya sudah senja, posisinya dalam kesenian tari tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang, suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi. Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apapun jalannya. Kibasan samprung gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada gandrung, uang bukan segalanya.

Ia mempertahankan hidupnya di situ. Gandrung lebih penting ketimbang dirinya. Darah seni mengalir dari garis ayahnya yang merupakan penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969, penari gandrung perempuan berada di puncak kejayaan dimana gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sejak tahun 1950-an.

Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang di panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton. Suara Temu menjadi bagian eksotisme timur yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar. Di tingkat lokal, suara emasnya sudah menghasilkan enam album gandrung dan satu album versi jaipong untuk karaoke.

Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari dinas Pariwisata bekerja sama dengan pendidikan seni nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian temu bertahun-tahun lalu.

“Saya mau menari gandrung sampai kaki-tangan dan badan ini sudah tidak bisa digerakkan lagi”, tutur perempuan warga Dusun Kedaleman, Desa kemiren, Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur ini. Ucapan itu menggambarkan sikap, pandangan dan pilihannya sebagai penari gandrung profesional. Sikap ini ia tunjukkan sebab penari gandrung seangkatannya banyak memilih pensiun. Ia juga melatih, menularkan ilmunya kepada kaum muda yang ingin belajar tarian gandrung, tarian yang telah menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi. Ia bertekad tetap aktif memenuhi undangan ngibing.

Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu.


Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari.


Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya.


Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu.
Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.

Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.

Sumber :
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/temu.html

Tanggapan :
Tarian gandrung merupakan tarian tradisional yg kini sangat sulit untuk kita dapat jumpai, kesenian ini juga hampir punah. Di Banyumas sendiri tarian Gandrungan juga sulit untuk dapat kita jumpai. Wlaupun sebenarnya tarian ini merupakan salah satu kesenian yang dulunya banyak di gemari olah masyarakat banyumas pada umumnya. Akan tetapi semakin berkembangnya jaman kesenian ini juga dikatagorikan sebagai tarian yang hanya menjual kemolekan dari tubuh para penarinnya. Sehingga tidak banyak generasi muda yang ingin melestarikannya.

Kesenian Gandrung sebernarnya berfungsi sebagai tarian pergaulan sama halnya seperti tarian lainnya. Akan tetapi Gandrung mempunyai ciri tersendiri dari tata letak gerakannya maupun alat musik untuk mengiringinya.

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedangkan bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Ada tiga tahap dalam Tarian Gandrungan :
1. Tahap pertama adalah JEJER GANDRUNG pada tahap ini penari menarikannya sendri dengan lagu yang dibawakannya ( lagu podo Nonton ) dan diiringi oleh alat musik tradisionalnya.

2. Tahap kedua adalah PACU GANDRUNG pada saat ini penari harus melayani tamu satu persatu. Disinilah para penari harus sabar dalam menghadapi para tamu. Karen kadang kala ada juga para tamu yang menunjukkan norma yang tidak wajar kepada penari. Dan ini juga merupakan salah satu sebab para pemuda enggan untuk melestarikan tari gandrung ini.

3. Tahap ketiga adalah SUBLEK SUNGKEM dalam tahap ini penari membawakan tarian yang dibawakan dengan maksud permohonan maaf atas tarian yang telah dibawakannya semalaman itu.

Untuk menghindari kepunahan dalam Kesenian Gandrungan ini banyak para seniman yang melestarikannya dengan cara mendirikan sekolah kursus untuk tarian Gandrungan dan tarian dari Banyumas yang lainnnya dalam yang sifatnya FORMAL maupun NON FORMAL. Seperti halnya oleh pemerintah tarian gandrung tersebut dijadikan sebagai salah satu pelajaran kesenian yang terdapat pada sekolah sekolah negeri.

Sebagai bangsa indonesia yang mempunyai berbagai macam kebudayaan sudah selayaknya kita melestarikan dan menjaga kebudayaan kita sendiri sebelum kebudayaan tersebut menghilang maupun diakui oleh pihak lain. Dengan sikap dan pemikiran positif mari kita lestarikan budaya kita :) !!


Perebutan Wilayah antara Manusia dan Alam

tema : Manusia dan Keindahan

Sering kita dengar di pulau Sumatera , kawanan gajah masuk ke perkampungan atau merusak ladang-ladang petani. Bukan karena gajah suka merusak atau menyerang manusia, karena hewan ini bukan jenis yang agresif. Tetapi gajah-gajah itu hanya melintasi rute penjelajahan mereka yang sudah dilakukan puluhan tahun. Sementara ladang-ladang petani itu adalah baru dibuka beberapa tahun belakangan.


Fenomena di atas adalah representasi bagaimana perebutan wilayah antar manusia dengan alam (hewan, tanaman, air dsbnya). Manusia membutuhkan pertanian, perkebunan untuk kehidupannya, tetapi sering kali membuka hutan dengan tidak bijak. Hewan tersingkir, tanaman makin langka, konservasi air menipis, udara tercemar dan seterusnya. Akhir dari semua ini adalah bencana yang juga mengancam manusia…banjir, tanah longsor, kekeringan, kualitas hidup merosot. Namun sering hal di atas diabaikan oleh mereka yang punya kuasa, baik kuasa wewenang maupun uang. Meskipun sudah ada aturan hukum yang jelas mengatur soal tata ruang maupun peruntukkan wilayah, mereka tidak peduli dan melangkahi saja aturan-aturan tersebut, demi kepentingan sendiri.

Contoh di depan mata tentang penyalahgunaan aturan hukum adalah menjamurnya villa di kawasan Puncak – Bogor dan Lembang – Bandung. Puncak adalah daerah resapan air untuk keperluan warga Bogor maupun Jakarta, demikian Perda menetapkan daerah ini. Namun makin hari makin gundul , dan ‘ditanami’ bangunan-bangunan beton, yang kadang ironis, berada di pegunungan yang mestinya dingin tetapi juga dipasangi AC.


Hal yang sama terjadi di Lembang, Bandung. Di kawasan ini ada observatorium Bosscha, salah satu dari sedikit observatorium astronomi di lintang selatan Bumi. Bosscha memiliki peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan dunia. Maka kawasan Lembang pun menjadi kawasan konservasi , khususnya dari cahaya. Tetapi apa lacur, semua orang berlomba membangun villa di kawasan ini, dan malam hari kawasan ini menjadi terang benderang.


Pada edisi kali ini kami menurunkan liputan perusakan kawasan Gunung Bunder/Halimun oleh merebaknya villa dari orang kota. Padahal kawasan ini masuk dalam Taman Nasional. Ancaman kehilangan beraneka ragam tanaman maupun hewan mulai mengintai di kawasan ini. Belum terlambat untuk menghentikan pembangunan villa yang makin banyak. Pelajaran bencana di Puncak dan Lembang, semoga membuka mata para pemilik uang yang membangun villa di si kawasan Gunung Bunder. Juga penguasa setempat agar lebih berani menegakkan peraturan di kawasan ini.

Perebutan wilayah antara manusia dan alam juga terjadi di banyak tempat di Indonesia, seperti di hutan Kalimantan, Sumatera dan Papua dengan perkebunan sawit dan pertambangan. Semoga konflik kepentingan ini dapat diatur dengan baik, karena bagaimana pun bumi kita hanya satu, ditinggalin bersama maka mesti dirawat dengan bijak.

http://www.biruvoice.com/berita/editorial/107-perebutan-wilayah-antara-manusia-dan-alam.html



Tanggapan :
Keindahan, sering diutarakan kepada situasi tertentu, artik kata keindahan yaitu berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok, molek dan sebagainya. Keidahan identik dengan kebenaran. Keindahan kebenaran dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak indah. Keindahan juga bersifat universal, artinya tidak terikat oleh selera perseorangan, waktu dan tempat, kedaerahan, selera mode, kedaerahan atau lokal.

Keindahan yang tertera pada kasus diatas adalah salah satu contoh keindahan pada alam. Alam yang diciptakan Allah berupa gunung, hutan, laut berikut isinya, dan masih banyak lagi. Ambil contoh hutan, di dalamnya memiliki berjuta-juta bahkan tidak terhingga atas keindahan dan adanya kehidupan makhluk hidup yang luar biasa. Keindahan hutan memang lebih indah untuk dinikmati dan disyukuri. Lalu bagaimana dengan gedung, bangunan pencakar langit sekalipun apakah mampu menggantikan keindahan alam semesta???.

“Alam memiliki keindahan yang tidak dapat terukur. Hingga saat ini pun belum ada manusia yang mampu menilai dan mengukur keindahan alam di dunia”

Bagaimanapun canggihnya manusia dalam berkarya, ternyata belum ada yang bisa menggantikan ciptaan alam semesta. Manusia boleh bangga dengan hasil ciptaan manusia. Tapi ciptaan manusia berupa gedung, bangunan pencakar langit hanya sebatas keindahan biasa saja.





Manusia yang hidup di bumi ini pasti akan puas dan senang ketika mengujungi keindahan alam, seperti gunung, hutan, air terjun, laut dan isinya, pergi ke pulau-pulau yang menyuguhkan kemolekannya. Pada saat manusia suntuk kemungkinan yang dituju yaitu keindahan alam bukan keindahan gedung, bangunan pencakar langit dsb. Ini bukti bahwa manusia tidak terlepas dari keidahan alam yang nota bene adalah lingkungannya, tempat hidup makhluk hidup. Alam memiliki keindahan yang tidak dapat terukur. Hingga saat ini pun belum ada manusia yang mampu menilai dan mengukur keindahan alam di dunia.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah namun seakan tidak pernah peduli untuk menjaga dan melestarikan keaslian alam. Berdasarkan informasi, hanya terdengar expliotasi dan exploitasi secara besar-besaran terhadap kekayaan alam. Sehingga muncullah kerusakan demi kerusakan yang teramat parah. Seperti yang terjadi di pulau papua, akibat penambangan emas dan timah, di wilayah yang sebelumnya masih indah, kini tinggal kubangan besar menyerupai bekas jatuhnya meteor. Begitu pula, hutan hujan tropis di Kalimantan yang telah banyak berubah menjadi hutan sawit dan aktifitas menebang pohon sembarangan (illegal logging). Dengan berubahnya hutan tropis mengakibatkan hilangnya habitat satwa liar yang seharusnya di lindungi. Orang utan banyak yang di tangkapi, dijual dan dibunuh.

Manusia tidak dapat membuat ataupun menciptakan keindahan alam yang alami ataupun menjadikannya seperti semula. Kadang pernah terpikir bahwa dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan membuat kehidupan dibumi ini menjadi lebih baik. Tetapi tindakan yang berlebihan membuat keindahan alam yang masih alami harus terpaksa berubah fungsi, rusak dan bahkan sudah tidak ada lagi. Tidak lain dan tidak bukan adalah Karena ulah dari manusia. Manusia secara sadar merusak keindahan alam yang masih alamiah. Jika perbuatan merusak ini semakin menjadi-jadi dan tidak dapat di tanggulangi maka nilai tertinggi dari keindahan akan segera punah. Manusia akan bingung harus mencari dan menemukan keindahan alam yang alami..