Senin, 07 Maret 2011

Tari Gandrung

Kesenian Gandrung merupakan ibu dari kesenian lainnya yang ada di Banyumas. Pada usia 10 tahun para wanita mulai menarikannya. Tarian Gandrungan juga biasanya dibawakan oleh penari pria atu biasa disebut Gandrung Lanang, para lelaki itu menari menggunakan pakaian tarian wanita pada umumnya.



Tari gandrung di pertunjukan oleh seorang atau dua orang gadis yang biasanya di pertunjukan di tempat terbuka diiringi oleh gamelan dan juga di pertotonkan pada hari-hari besar. Tari Gandrung memiliki ciri khas , mereka menari dengan kipas dan ketika penari menyentuh kipasnya kepada salah satu penonton biasanya laki - laki dan di ajak untuk menari.

Bentuk kesenian yang didominasi tarian dengan orkestrasi khas ini populer di wilayah Banyuwangi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan gandrung. Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.

Tarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan, setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya merupakan kehidupan keseharian. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Awalnya orangtuanya, pasangan Mustari-Supiah tak setuju ia menari gandrung karena kakenya seorang tokoh agama, akhirnya mereka malah berbalik mendukungnya.



Meski usianya sudah senja, posisinya dalam kesenian tari tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang, suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi. Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apapun jalannya. Kibasan samprung gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada gandrung, uang bukan segalanya.

Ia mempertahankan hidupnya di situ. Gandrung lebih penting ketimbang dirinya. Darah seni mengalir dari garis ayahnya yang merupakan penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969, penari gandrung perempuan berada di puncak kejayaan dimana gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sejak tahun 1950-an.

Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang di panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton. Suara Temu menjadi bagian eksotisme timur yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar. Di tingkat lokal, suara emasnya sudah menghasilkan enam album gandrung dan satu album versi jaipong untuk karaoke.

Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari dinas Pariwisata bekerja sama dengan pendidikan seni nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian temu bertahun-tahun lalu.

“Saya mau menari gandrung sampai kaki-tangan dan badan ini sudah tidak bisa digerakkan lagi”, tutur perempuan warga Dusun Kedaleman, Desa kemiren, Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur ini. Ucapan itu menggambarkan sikap, pandangan dan pilihannya sebagai penari gandrung profesional. Sikap ini ia tunjukkan sebab penari gandrung seangkatannya banyak memilih pensiun. Ia juga melatih, menularkan ilmunya kepada kaum muda yang ingin belajar tarian gandrung, tarian yang telah menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi. Ia bertekad tetap aktif memenuhi undangan ngibing.

Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu.


Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari.


Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya.


Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu.
Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.

Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.

Sumber :
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/temu.html

Tanggapan :
Tarian gandrung merupakan tarian tradisional yg kini sangat sulit untuk kita dapat jumpai, kesenian ini juga hampir punah. Di Banyumas sendiri tarian Gandrungan juga sulit untuk dapat kita jumpai. Wlaupun sebenarnya tarian ini merupakan salah satu kesenian yang dulunya banyak di gemari olah masyarakat banyumas pada umumnya. Akan tetapi semakin berkembangnya jaman kesenian ini juga dikatagorikan sebagai tarian yang hanya menjual kemolekan dari tubuh para penarinnya. Sehingga tidak banyak generasi muda yang ingin melestarikannya.

Kesenian Gandrung sebernarnya berfungsi sebagai tarian pergaulan sama halnya seperti tarian lainnya. Akan tetapi Gandrung mempunyai ciri tersendiri dari tata letak gerakannya maupun alat musik untuk mengiringinya.

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedangkan bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu dikenakan di bahu.

Ada tiga tahap dalam Tarian Gandrungan :
1. Tahap pertama adalah JEJER GANDRUNG pada tahap ini penari menarikannya sendri dengan lagu yang dibawakannya ( lagu podo Nonton ) dan diiringi oleh alat musik tradisionalnya.

2. Tahap kedua adalah PACU GANDRUNG pada saat ini penari harus melayani tamu satu persatu. Disinilah para penari harus sabar dalam menghadapi para tamu. Karen kadang kala ada juga para tamu yang menunjukkan norma yang tidak wajar kepada penari. Dan ini juga merupakan salah satu sebab para pemuda enggan untuk melestarikan tari gandrung ini.

3. Tahap ketiga adalah SUBLEK SUNGKEM dalam tahap ini penari membawakan tarian yang dibawakan dengan maksud permohonan maaf atas tarian yang telah dibawakannya semalaman itu.

Untuk menghindari kepunahan dalam Kesenian Gandrungan ini banyak para seniman yang melestarikannya dengan cara mendirikan sekolah kursus untuk tarian Gandrungan dan tarian dari Banyumas yang lainnnya dalam yang sifatnya FORMAL maupun NON FORMAL. Seperti halnya oleh pemerintah tarian gandrung tersebut dijadikan sebagai salah satu pelajaran kesenian yang terdapat pada sekolah sekolah negeri.

Sebagai bangsa indonesia yang mempunyai berbagai macam kebudayaan sudah selayaknya kita melestarikan dan menjaga kebudayaan kita sendiri sebelum kebudayaan tersebut menghilang maupun diakui oleh pihak lain. Dengan sikap dan pemikiran positif mari kita lestarikan budaya kita :) !!


0 komentar:

Posting Komentar